I G. Suranaya Pandit *, N. T. Suryadhi, I. B. Arka, N. Adiputra **
Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa *
Program Pascasarjana Universitas Udayana **
ABSTRAK
Ikan
tongkol merupakan salah satu bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat
dan jika dibiarkan pada suhu kamar, maka terjadi proses penurunan mutu
menjadi busuk. Ikan yang sudah mengalami proses pembusukan, bila
dikonsumsi dapat menimbulkan keracunan (Histamine fish poisoning).
Keracunan ini disebabkan oleh kontaminasi bakteri pathogen dengan
dekarboksilasi asam amino histidin oleh enzim histidin dekarboksilase menghasilkan
histamin. Bakteri ini banyak terdapat pada anggota tubuh manusia yang
tidak higienis, kotoran/tinja, isi perut ikan, insang serta peralatan
yang tidak bersih.
Penelitian
eksperimental dengan pola faktorial, yaitu faktor P adalah faktor
penyiangan dengan 2 taraf, tanpa penyiangan dan penyiangan, sedangkan
faktor T adalah suhu penyimpanan dengan 3 taraf yaitu suhu penyimpanan
30oC, 15oC dan 0oC.
Analisis
statistik terhadap mutu kimiawi seperti kadar histamin, kadar total
volatil bases (TVB) dan trimetilamin (TMA) menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,05) pada pengaruh penyiangan dan suhu penyimpanan. Terjadi
peningkatan kadar histamin, kadar TVB dan TMA selama penelitian. Selama
penelitian terjadi peningkatan jumlah koloni bakteri, jumlah Coliform, kecuali bakteri Vibrio parahaemolyticus negatif. Perlakuan penyiangan dan suhu penyimpanan 0oC memiliki mutu kimiawi, mikrobiologis terbaik sampai hari ke 10 serta masih diterima panelis.
Hubungan antara kadar histamin dengan jumlah bakteri mempunyai hubungan sangat kuat, ditunjukkan dengan nilai r ³ 0,7 kecuali kadar histamin dengan waktu memiliki hubungan agak lemah r ≤ 0,5.
Keamanan ikan tongkol dengan penerapan teknologi tepat guna berupa tanpa penyiangan dan penyiangan pada suhu 30oC hanya aman untuk dikonsumsi sampai hari ke 0. Perlakuan tanpa penyiangan dan suhu penyimpanan 15oC
aman sampai hari ke 4, sedangkan dengan penyiangan aman sampai hari ke
6. Untuk perlakuan tanpa penyiangan dan penyiangan dengan suhu
penyimpanan 0oC aman sampai hari ke 10.
Pendahuluan
Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat, untuk
mengkonsumsi ikan perlu pengetahuan masyarakat bahwa ikan merupakan
suatu bahan pangan yang cepat mengalami proses pembusukan (perishable food),
hal ini disebabkan karena beberapa hal seperti kandungan protein yang
tinggi dan kondisi lingkungan yang sangat sesuai untuk pertumbuhan
mikrobia pembusuk. Adapun kondisi lingkungan tersebut seperti suhu, pH,
oksigen, waktu simpan, dan kondisi kebersihan sarana prasarana.
Ikan
tongkol yang tergolong famili scombroidae, jika dibiarkan pada suhu
kamar, maka segera akan terjadi proses penurunan mutu, menjadi tidak
segar lagi dan jika ikan tongkol ini dikonsumsi akan menimbulkan
keracunan. Keracunan ini disebabkan oleh kontaminasi bakteri pathogen
seperti Escherichia coli, Salmonella, Vibrio cholerae, Enterobacteriacea dan lain-lain. Salah satu jenis keracunan yang sering terjadi pada ikan tongkol adalah keracunan histamin (scombroid fish poisoning)
karena ikan jenis ini mengandung asam amino histidin yang dikontaminasi
oleh bakteri dengan mengeluarkan enzim histidin dekarboksilase sehingga
menghasilkan histamin. Bakteri ini
banyak terdapat pada anggota tubuh manusia yang tidak higienis,
kotoran/tinja, isi perut ikan serta peralatan yang tidak bersih.
Kasus-kasus
keracunan akibat mengkonsumsi ikan masih sering terjadi. Untuk itu
upaya penanganan ikan tongkol selama penyimpanan dengan penerapan
teknologi tepat guna berupa penyiangan isi perut dan insang serta penyimpanan pada suhu rendah perlu dilakukan.
Materi dan Pembahasan
Penelitian
eksperimental dengan rancangan acak kelompok (RAK) pola faktorial 2
faktor (Nazir, 2003). Faktor penyiangan dengan 2 taraf yaitu tanpa
penyiangan dan penyiangan (insang dan isi perut). Faktor suhu penyimpanan dengan 3 taraf yaitu :suhu penyimpanan (30oC ± 2); (15°C ± 2); (0°C ± 2).
Mutu Kimiawi
Berdasarkan hasil penelitian perlakuan penyiangan dan suhu penyimpanan 0oC
memiliki kadar histamin sebesar 6,25 mg/100 g meningkat menjadi 23,68
mg/100 g sampai hari ke 10 dibandingkan tanpa penyiangan lebih tinggi
yaitu sebesar 7,74 mg/100 g menjadi .35,35 mg/100 g. Keadaan yang sama
terdapat pada perlakuan penyiangan dan suhu penyimpanan 15oC
hari ke 0 dengan kadar histamin sebesar 14,88 mg/100 g menjadi 62,13
mg/100 g, sedangkan perlakuan tanpa penyiangan hari ke 0 kadar histamin
sebesar 19,43 mg/100 g menjadi 93,45 mg/100 g. Kadar histamin hari ke 0
dengan penyiangan dan suhu penyimpanan 30oC sebesar 27,10 mg/100 g menjadi sebesar 423,20 mg/100 g, sedangkan tanpa penyiangan hari ke 0 sebesar 30,73 mg/100 g meningkat menjadi 502,17 mg/100 g.
Hasil analisis ragam bahwa perlakuan suhu penyimpanan dan penyiangan berpengaruh
nyata (P<0,05). Menurut Rickenbacker (2006), penyebab utama
pembusukan oleh bakteri, bersumber dari insang, permukaan kulit dan isi
perut, oleh karena itu ikan perlu disiangi dan dibersihkan dengan air
dingin. Hasil penelitian Chytiri dkk (2004) diperoleh kadar histamin dan biogenic amin lebih rendah pada rainbow trout (Onchorynchus mykiss) yang difillet dibandingkan dengan bentuk utuh pada suhu penyimpanan 5oC setelah penyimpanan 12 hari.
Hasil
pembusukan berupa histamin oleh bakteri optimal pada temperatur 30°C
dan menurun pada temperatur dingin yaitu 0-5°C (Lehane and Olley, 2000).
Kose dkk (2003), melaporkan produksi histamin sebesar 80,96 mg/100 g
pada ikan mackerel yang disimpan pada suhu 15oC selama 1
minggu. Hasil penelitian Aflal dkk (2005), menemukan konsentrasi kadar
histamin sebesar 77,7 mg/100 g pada ikan sardine yang disimpan pada suhu
30oC selama 24 jam.
Perlakuan penyiangan dan suhu penyimpanan 0oC terdapat total volatile bases (TVB) paling rendah yaitu sebesar 8,60 mg/100 g menjadi 109,29
mg/100 g, dibandingkan dengan tanpa penyiangan sebesar 12,96 mg/100 g
meningkat sampai hari ke 10 menjadi 127,94 mg/100 g. Peningkatan terjadi
pada perlakuan penyiangan dan suhu penyimpanan 15oC dan meningkat lagi pada suhu penyimpanan 30oC.
Kadar TVB ini dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang tahan hidup sehingga
hasil metabolisme bakteri berupa TVB juga berbeda. Menurut Kerr dkk,
(2002); Anon., (2006), TVB merupakan indikator kualitas ikan maksimum
200 mg/100 g merupakan batas layak dikonsumsi. termasuk trimetilamin,
dimetilamin, amonia dan basa-basa nitrogen lain yang merupakan hasil
kerja bakteri dan enzim autolitik selama proses pembusukan.
Analisis
ragam bahwa perlakuan suhu penyimpanan dan penyiangan berpengaruh nyata
(P<0,05). Perbedaan kadar TVB ini disebabkan oleh karena perbedaan
populasi bakteri, dengan demikian jumlah metabolismenya dalam bentuk TVB
juga berbeda dan terjadi peningkatan selama waktu pengamatan. TVB
merupakan hasil dekomposisi protein oleh aktivitas bakteri dan enzim.
Pemecahan protein dapat menghasilkan 95 % amonia dan CO2,
disamping itu akibat langsung pemecahan protein menjadi total N non
protein tubuh ikan menjadi basis dengan pH 7,1-7,2. Hasil pemecahan
protein bersifat volatile dan menimbulkan bau busuk seperti ammonia, H2S,
merkaptan, phenol, kresol, indol dan skatol (Aurand dkk, 1987).
Berdasarkan penelitian Antoine dkk (2004), potongan daging ikan
mahi-mahi yang disimpan pada suhu 5oC, kemudian diamati pada hari ke 3 diperoleh kadar TVB mencapai 30 mg/100 g.
Trimetilamin (TMA) pada perlakuan tanpa penyiangan dan suhu penyimpanan 30oC
maupun penyiangan hari ke 0 kadar TMA sebesar 33,91 mg/100 g dan 28,98
mg/100 g terjadi peningkatan dengan cepat sampai hari ke 10 menjadi
sebesar 332,62 mg/100 g dan 288,70 mg/100 g. Apabila suhu penyimpanan
diturunkan menjadi 15oC, kemudian 0oC, maka pada
hari ke 0 kadar TMA menjadi lebih rendah, karena jumlah bakteri yang
memproduksi TMA populasi lebih sedikit, dan selanjutnya meningkat selama
waktu pengamatan yang diikuti oleh meningkatnya jumlah bakteri.
Analisis
ragam menunjukkan suhu penyimpanan dan penyiangan berpengaruh nyata
(P<0,05). Perbedaan kadar TMA ini disebabkan oleh perbedaan populasi
bakteri. TMA merupakan hasil pembusukan spesifik terhadap produk ikan
laut yang mengandung senyawa trimetilamin oksida (TMAO) dan senyawa non
protein nitrogen lainnya, kemudian oleh bakteri dan enzim direduksi
menjadi TMA (Ilyas, 1983). Jumlah TMA pada tiap perlakuan sangat
berkaitan erat dengan jumlah bakteri. Menurut Kerr dkk (2002), kadar TMA
pada produk perikanan yang layak untuk dikonsumsi tidak melebihi 100
mg/100 g.
Mutu Mikrobiologis
Pada hari ke 0 ikan tongkol dengan penyiangan dan suhu penyimpanan 0oC terdapat jumlah bakteri paling rendah yaitu 1,2x102 koloni/g dibandingkan dengan tanpa penyiangan sebesar 3,2x102 koloni/g. Keadaan ini terus meningkat sampai hari ke 10 menjadi 4,4x104 koloni/g dan 6,2x104 koloni/g. Keadaan yang sama pada perlakuan penyiangan maupun tanpa penyiangan dengan suhu penyimpanan 15oC dan 30oC dengan pola peningkatan berbeda.
Hasil
analisis ragam suhu penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05). Jumlah
koloni bakteri ini sangat menentukan mutu ikan tongkol segar, seperti
mutu kimiawi dan organoleptik. Penggunaan suhu rendah 0-5oC
pada proses pengawetan, dapat memperlambat pertumbuhan bakteri, bahkan
ada beberapa bakteri mengalami kematian dan beberapa lagi tetap tumbuh
lambat dengan membentuk spora (Gaman dan sherrington, 1994). Selanjutnya
penggunaan suhu rendah mengakibatkan penurunan proses kimia dan jumlah
bakteri yang berhubungan dengan pembusukan, namun penggunaan suhu rendah
tidak dapat membunuh semua bakteri.
Coliform merupakan bakteri heterogen dari famili Enterobacteriaceae, dimana pada perlakuan tanpa penyiangan dengan suhu penyimpanan 0oC hari ke 0 telah terjadi pertumbuhan bakteri Coliform sebesar 8x101 koloni/g dan pertumbuhan terus meningkat sampai hari ke 10 sebesar 2x108 koloni/g. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) (Anon., 1994) menyatakan batas keamanan ikan segar dari cemaran bakteri Coliform adalah 1x104 koloni/g, Kualitas mikrobologi khususnya Coliform pada ikan tilapia (Sarotherodun galiaenus) yang telah dibekukan sampai hari ke 10 diperoleh jumlah Coliform antara 3,0x103 koloni/g - 7,5x106 koloni/g (Arannilewa dkk, 2005).
Berdasarkan analisis ragam suhu penyimpanan dan penyiangan berpengaruh nyata (P<0,05). Kelompok Coliform
merupakan bakteri berbentuk batang, gram negatif dan bersifat anaerobik
fakultatif, atau aerobik, memfermentasi laktosa, membentuk asam dan gas
dalam waktu 24 jam pada temperatur 37°C. Kelompok ini seperti Escherichia,
Edwardsiella, Citrobacter, Salmonella, Shigella, Klebsiella,
Enterobacter, Hafnia, Serratia, Proteus, Yersinia dan Erwinia (Fardiaz, 1989).
Pada penelitian ini tidak ditemukan Vibrio parahaemolyticus,
karena bakteri ini termasuk flora laut yang banyak dijumpai pada
kerang-kerangan, kepiting, udang, ikan dan tumbuhan laut, serta bersifat
halofilik (Desmarchelier, 1997); (Anon., 2003) selanjutnya dikatakan
bahwa bakteri Vibrio parahaemolyticus
banyak terdapat di daerah muara, tepi pantai dan di daerah-daerah
endapan. Ikan tongkol merupakan schooling fish untuk tujuan beruaya dan
hidup dipermukaan (ikan pelagis) (Dahuri, 2003), sehingga ikan tongkol
tidak terkontaminasi.
Mutu Organoleptik
Pada hari ke 10 perlakuan penyiangan dan suhu penyimpanan 0oC
masih diterima panelis dengan nilai 7,4 (kenampakan mulai kurang
cemerlang redup kemerahan). Berdasarkan analisis ragam suhu penyimpanan
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kenampakan dan kenampakan sangat
ditentukan oleh kandungan air. Disamping itu tingginya jumlah bakteri
akan merombak protein menjadi senyawa-senyawa sederhana dengan
memanfaatkan kandungan air bebas sehingga dapat mengubah kenampakan yang
cemerlang menjadi redup.
Pada hari ke 10 perlakuan suhu penyimpanan 0oC
dengan penyiangan masih diterima panelis dengan nilai 7,1 (bau amis
ikan segar hampir netral). Berdasarkan analisis ragam suhu penyimpanan
dan penyiangan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bau. Perubahan
nilai bau yang sangat tajam pada perlakuan tanpa penyiangan dan
penyiangan pada suhu penyimpanan 30oC disebabkan karena
proses pembusukan berjalan sangat cepat dan efektif, dimana bakteri dan
enzim menguraikan komponen-komponen makro pada ikan terutama protein
menjadi senyawa-senyawa sederhana dan akhirnya menjadi senyawa yang
berbau busuk seperti amonia, histamin, H2S, indol, skatol dan lain-lain sampai bahan-bahan tersebut habis terurai. Pada suhu penyimpanan 0oC,
proses pembusukan berupa perombakan berjalan lambat, namun beberapa
bakteri psikrofilik masih mampu melakukan aktivitas minimal sampai hari
ke 10 dan masih diterima panelis.
Untuk suhu penyimpanan 0oC
pada perlakuan tanpa penyiangan dan penyiangan terjadi penurunan nilai
tekstur. Berdasarkan analisis ragam suhu penyimpanan dan penyiangan
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tekstur. Pada perlakuan
penyiangan dan suhu penyimpanan 0oC proses
rigormortis berjalan lambat karena perombakan glikogen menjadi asam
laktat sampai kandungan glikogen habis ini sangat dipengaruhi oleh suhu.
Pada proses ini tekstur ikan tongkol masih kompak, elastis dan sedikit
menurun sampai hari ke 10 serta masih diterima panelis.
Hubungan antara kadar histamin dengan; kadar total volatile bases; kadar trimetilamin; jumlah bakteri; jumlah Coliform; kenampakan; bau, dan tekstur, mempunyai hubungan sangat kuat yang ditunjukkan dengan nilai r = ³ 0,7 kecuali kadar histamin dengan waktu memiliki hubungan agak lemah r = ≤
5. lemahnya hubungan tersebut disebabkan karena kadar histamin tidak
berpengaruh langsung dengan waktu/hari, namun histamin berpengaruh
langsung dengan jumlah bakteri.
Kesimpulan
Peningkatan keamanan ikan tongkol (Auxis tharzard, Lac) dengan penerapan teknologi
tepat guna ditinjau dari mutu kimiawi, mikrobiologis dan organoleptik
yang terbaik diperoleh pada perlakuan penyiangan dan suhu penyimpanan 0oC, kemudian berturut-turut diikuti oleh tanpa penyiangan dan suhu penyimpanan 0oC, penyiangan dan suhu penyimpanan 15oC, tanpa penyiangan dan suhu penyimpanan 15oC, penyiangan dan suhu penyimpanan 30oC serta tanpa penyiangan dan suhu penyimpanan 30oC.
Temuan baru pada penelitian ini adalah penyiangan dan tanpa penyiangan dengan suhu penyimpanan 0oC
mampu memperpanjang waktu simpan dan aman untuk dikonsumsi sampai hari
ke 10, dibandingkan dengan penyiangan dan suhu penyimpanan 15oC sampai di bawah 6 hari, berikutnya tanpa penyiangan dan suhu penyimpanan 15oC di bawah 4 hari, kemudian penyiangan dan tanpa penyiangan dengan suhu penyimpanan 30oC hanya aman sampai di bawah 1 hari.
Hubungan sangat kuat dan signifikan antara kadar histamin dengan kadar TVB; kadar TMA; jumlah bakteri; jumlah bakteri Coliform; kenampakan; bau; tekstur, sedangkan kadar histamin dengan waktu (hari) memikili hubungan agak lemah, namun masih signifikan.
Kepustakaan
Aflal, M.A., Daoudi, H. Jdaini, S., Asehraou., dan Bouali, A. 2006. Study of The Histamine Production in a Red Flesh Fish (Sardina pilchardus) and a White Flesh Fish (Dicentrarchus punctatus). J. of Fish And Aquatic Sciences 6 : 43-48
Allen, G. Green, D.P and Bolton, G. E. 2004. Control of Histamin Production in Current Commercial Fishing Operations for Mahi-Mahi (Coryphaena hippurus) and Yellowfin Tuna (Thunnus albacares) in North Carolina. Corresponding author : dave_green@ncsu.edu.
Anonimus, 1994. Standar Nasional Indonesia. Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. Dirjen Perikanan dan Kelautan. Jakarta.
Anonimus, 2003. Bakteriologi Medik. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Bayumedia Publishing. Malang.
Anonimus, 2006. Assessment of Fish Quality. Biochemical and Chemical Methods. http://D:Ch16, Ch17, Ch18.htm. Diakses 2/3/2006.
Antoine, F.R., Wei, C.I., Otwell, W. S., Sims, C.A., Littell, R.C., Hogle, A.D., dan Marshall, M.R. 2004. Chemical Analysis and Sensory Evaluation of Mahi-Mahi (Coryphaena hippurus) during Chilled Storage. J. of Food Protection : Vol 67, No. 10 : 2255-2262.
Arannilewa,
S.T., Salawu, S.O., Sorungbe, A.A., and Olasalawu, B.B. 2005. Effect of
Frozen Period on The Chemical, Microbiological and Sensory Quality of
Frozen Tilapia Fish (Sarotherodun galiaenus). J. of Biotechnology : Vol. 4 (8). 852-855.
Aurand, L.W., Eoods, A.E., and Wells, M.R. 1987. Food Composition and Analysis. The Avi Published by Van Nostrand Reinhold Co. New York.
Chytiri, S., Paleologos, E., Savaidis, I., and Kontominas, M. G. 2004. Relation of Biogenic Amines with Microbial and Sensory Changes of Whole and Filleted Freshwater Rainbow Trout (Onchorynchus mykiss) Stored on Ice. J. of Food Protection. Vol. 67.No.5. 960-965.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Desmarchelier, P.M. 1997. Pathogenic vibrios. Foodborne Microorganismes of Public Health Significance. Australian Institute of Food Science and Technology Inc. North Sydney. P ; 285-307.
Fardiaz,
S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi. IPB. Bogor.5
Gaman, P. M. dan Sherrington, K.B. 1994. Ilmu Pangan. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi kedua. Fakultas Teknologi Pertanian. UGM. Yogyakarta.
Ilyas, S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Penerbit CV. Paripurna. Jakarta.
Kerr,
M. Lawicki, P. Aguirre, S. and Rayner, C. 2002. Effect of Storage
Conditions on Histamine Formation in Fresh and Canned Tuna. State
Chemitry Laboratory, Werrbee. Victorian Government Departement of Human
Services. www.foodsafety.vic.gov.au
Kose, S., Quantick, P., dan Hall, G. 2003. Changes in The Levels of Histamine During Processing and Storage of Fish Meal. Animal Feed Science and Technology. 107 ; 161-172
Lehane, L. and Olley, J. 2000. Histamine Fish Poisoning Revisited. Int. J. Food Microbiol. 58 ; 1-37
Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
Rickenbacker, 2006. Spoilage of Fish. http://D: Spoliage/of/fish.htm. Diakses 2/3/2006
0 komentar:
Posting Komentar