Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena
aktivitas enzim, mikroorganisme dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat
kesegaran ikan menurun. Penurunan
tingkat kesegaran ikan ini terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan
organoleptik pada ikan. Setelah ikan mati, berbagai proses
perubahan fisik, kimia dan organoleptik berlangsung dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah
ke pembusukan.
Urutan proses perubahan yang terjadi pada ikan setalah mati meliputi aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan oksidasi (Junianto, 2003).
Urutan proses perubahan yang terjadi pada ikan setalah mati meliputi aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan oksidasi (Junianto, 2003).
1. Penurunan
Mutu Secara
Autolisis (Enzimatis)
Proses penurunan mutu secara autolisis (enzimatik/self-digestion) berlangsung sebagai aksi kegiatan enzim yang
mengurai senyawa kimiawi pada jaringan tubuh ikan. Enzim disitu bertindak sebagai katalisator yang menjadi pendorong dan
motor segala perubahan senyawa biologis yang terdapat pada ikan, baik perubahan
yang sifatnya membangun sel dan jaringan tubuh, maupun yang merombaknya. Sama halnya dengan enzim yang terdapat pada sel bakteri adalah enzim
yang mendorong kegiatan hidup bakteri yang dalam metabolisme bakteri akan mengurai bahan ikan (Ilyas, 1983).
Autolisis tidak dapat
dihentikan walau pun dalam suhu yang sangat rendah. Biasanya proses autolisis
akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri. Pasalnya semua hasil
penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media yang sangat cocok untuk
pertumbuhan bakteri dan mikroba lainnya (Junianto, 2003).
2. Penurunan
Mutu Secara
Bakterial
Selama ikan hidup, bakteri yang
terdapat dalam saluran pencernaan, insang, saluran darah, dan permukaan kulit
tidak dapat merusak dan menyerang bagian-bagian tubuh ikan tersebut mempunyai
batas pencegah (barrier) terhadap
penyerangan bakteri. Setelah ikan mati,
kemampuan barrier tidak hilang
sehingga bakteri segera masuk ke dalam daging ikan melalui keempat bagian tadi.
Akibat serangan bakteri, ikan
mengalami berbagai perubahan, yaitu lendir menjadi pekat, bergetah, amis, mata
terbenam dan pudar sinarnya, serta insang berubah warna dengan susunan tidak
teratur dan bau menusuk. Bakteri-bakteri
tersebut mulai dari insang atau luka yang terdapat pada kulit menuju jaringan
daging ikan dan dari permukaan kulit menuju kejaringa tubuh bagian dalam
(Junianto, 2003).
Hubungan
antara suhu, kegiatan bakteri dan laju penurunan mutu ikan dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel Hubungan Antara Suhu, Kegiatan Bakteri dan
Penurunan Mutu Ikan
Suhu
|
Kegiatan Bakteri
|
Mutu Ikan
|
25 – 10ºC
10 – 2ºC
2 – (-1ºC)
-1ºC
-2 – (-10ºC)
< -18ºC
|
Luar
biasa cepat
Pertumbuhan
kurang cepat
Pertumbuhan lebih berkurang
Kegiatan
dapat ditekan
Ditekan
tidak aktif
Ditekan
minimum, bakteri tersisa tidak aktif
|
Cepat
turun, daya awet 3-10 jam
Mutu
menurun kurang cepat, daya awet 2-5 hari
Penurunan
mutu agak lambat, daya awet 3-10 hari
Sebagai
ikan basah, penurunan mutu minimum, daya awet maksimum 5-20 hari
Penurunan
mutu minimum, tekstur tidak kenyal dan rasa ikan tidak segar, daya awet 7-30
hari
Mutu
ikan beku lebih baik, daya awet setahun
|
Sumber: Ditjen P2HP,
2008
3. Penurunan
Mutu Secara
Kimiawi
Penurunan mutu secara kimiawi
disebabkan karena terjadi penguraian lemak menjadi asam lemak oleh aksi enzim
jaringan tubuh ikan dan enzim yang dihasilkan oleh bakteri pembusuk dan
berlangsung karena adanya oksigen. Akibat dari reaksi ini terjadi
ketengikan, perubahan warna daging menjadi pucat mengakibatkan gejala rasa, bau
dan perubahan lain yang tidak diinginkan (Yunizal, 2001).
Bau tengik tersebut dapat merugikan,
baik pada proses pengolahan maupun pengawetan, karena dapat menurunkan mutu dan
daya jualnya. Mencegah proses oksidasi adalah dengan
mengusahakan sekecil mungkin terjadinya kontak antara ikan dengan udara bebas
di sekelilingnya. Caranya dengan menggunakan ruang hampa udara,
antioksidan atau menghilangkan unsur-unsur penyebab proses oksidasi (Junianto, 2003).
0 komentar:
Posting Komentar